Senja di Cristo Rei |
Perjalanan saya ke Dili dimulai dari hari Senin, 3 September 2018 karena saya harus ke Sentul, Bogor mengurus dokumen perjalanan. Setelah subuh di pagi buta yang syahdu itu, saya berangkat ke bandara Adisucipto. Setelah check-in, saya menunggu kurang lebih satu jam sebelum terbang ke bandara Soekarno Hatta. Awalnya janjian sama teman-teman mau ke Sentul bareng, tapi ya gitu deh… Ternyata ada drama ditinggalkan dan meninggalkan >.<.
Selasa, 4 September 2018 kami berangkat ke Soeta lagi untuk
ke Dili. Saya tidur pukul 00.30 dan bangun pukul 1.00 berangkat dari Sentul ke
Soeta. Sepertinya tidak ada penerbangan langsung ke Dili, jadi kami dari Cengkareng
harus transit ke bandara Ngurah Rai, Bali. Saya dan 2 teman saya terbang dengan
Citilink kurang lebih 2 jam, lalu menuju cari penerbangan internasional ke Dili
dengan Sriwijaya Air. Kira-kira pukul 13.00 WIT, kami tiba di bandara Nicolau Lobato.
Dan kesan pertama adalah PANAS. Hahaha…
Kami dijemput oleh Mas Dimi, staf Pusat Budaya Indonesia, yang membantu
mengurus VoA kami. Kami bayar USD30 untuk visa. Lalu kami singgah dulu ke PBI sebelum ke rumah
tinggal untuk kemudian mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas negara yang
telah menanti…. 😊
Jadi
kalau kalian menanti-nanti cerita dari Dili, baca baik-baik ya...
Dili
itu…
panas banget .
Dili itu panasnya tidak tak main-main. Jogja memang
panas, tapi Dili panasnya lebih wow. Sampai hari ke-14 ini saya belum
merasa gosong padahal sering jalan di bawah teriknya sinar mentari yang menyinari
bumi Lorosae ini. Tapi sempat sih kulit jadi kering banget, tapi sekarang sudah
normal kembali.
terletak di tepi
pantai.
Bahagia banget dong saya sebagai anak pantai yang bisa (hampir)
setiap hari melihat pantai. Pantainya bersih dan banyak pohon kelapanya.
Ombaknya kecil dan anginnya semilir.
menggunakan mata uang
USD dan centavos
Nominal terkecil adalah 5 cent dan terbesar $100. Cent atau centavos
ini bentuknya koin yang merupakan mata uang asli Timor Leste. Mengapa memakai USD juga? Karena centavos belum diakui secara internasional. Oleh karena itu, Timor Leste menggunakan USD sebagai alat pembayaran. Saya lebih sering belanja dengan koin-koin itu daripada
uang kertas. Uang kertas ($1, $5, $10, $20, $50, $100) biasanya hanya saya
pakai untuk berbelanja di supermarket. Jadi, bagi yang mau ke Timor Leste,
bawalah dompet koin. Di Indonesia, saya sering banget menelantarkan koin sisa kembalian dari warung tapi
ternyata di sini satu keping koin sangat berharga.
orangnya ramah
Selama ini saya menemukan penduduk lokal yang ramah. Setiap
kali bertemu orang lokal, mereka selalu menyapa bon dia (selamat pagi), bou
tarde (selamat siang), bou noitte
(selamat malam), dan sebagainya. Terdengar seerti bahasa Spanyol, ya? Jadi
merasa tak sia-sia dulu pernah jatuh bangun ikut kursusnya Pak Santiago
Gonzales. Bahasa nasional Timor Leste adalah tetun dan Portugis. Hanya kadang
kalau saya dan teman-teman sedang jalan, kami sering dipandang orang. Mungkin karena
kami terlihat ‘berbeda’ kali ya? Lalu kadang banyak orang iseng memanggil.
seperti Indonesia
juga
Gimana enggak? Banyak orang yang juga bisa bahasa Indonesia,
banyak pula makanan yang diimpor dari Indonesia, sayur dan buah juga seperti di
Indonesia (hanya harganya saja yang beda hahaha). Mirip Kupang atau Ende lah.
Beda waktu Dili dan Yogyakara 2 jam tapi di sini pukul 7 malam masih teran.
adalah kota angkot
Yang saya gunakan untuk pergi yaitu angkot. Angkot di sini
sudah punya jalur masing-masing. Jadi, kita hanya perlu menghafal nomornya.
Tarifnya 25 cent untuk rute jauh dekat.
tidak ada hiburan malam
Sedihnya tuh, mall di sini tutup pukul 7. Bioskopnya sih
sampai pukul 9, tapi tetap tidak bisa keluar karena angkotnya sudah kembali ke
kandang pukul 18.00. Untungnya saya tinggal serumah dengan teman-teman. Jadi, cukuplah
mereka sebagai hiburan saya. Padahal kalau di Jogja biasanya pukul 7 saya baru
selesai dandan siap ngelayap tuh. :l
Saya beruntung bertugas di Dili karena saya bisa bertemu dengan
Jess dan Sanjay yang baek bangeeet walaupun kadang ngeselin wkwk dan saya lebih
ngeselin (ya aku tahu ituu uwuwu). Lalu saya bertemu dengan Mbak Yeni sekeluarga yang selalu membuat
saya terharu karena kebaikannya dan lain-lainnya. Lalu teman-teman kloter 2 datang dan kami
selalu bermain monopoli dan masak-masakan bersama (hanya orang dalam yang tahu,
hahaha…) dan PBI yang mempertemukan dengan murid-murid yang katanya ingin
sekali belajar bahasa Indonesia dan ingin pergi ke Indonesia (unch terharu).
Seharusnya tulisan ini saya unggah seminggu lalu, supaya pas
bertepatan dengan 7 hari pertama di Dili. Walaupun di instagram saya terlihat
piknik-piknik terus, kenyataannya tidak. Hahaha... Bahkan kadang lembur sampai
malam untuk membuat ini itu dan belajar untuk mengajar. Dan tulisan inipun
sebenarnya saya selesaikan dengan penuh perjuangan di sela-sela membagi kelas
bahasa Indonesia untuk besok dan mempersiapkan materi, menulis laporan, dan berusaha mengetik dengan keyboard yang huruf 'p'-nya kadang mau dipencet kadang tidak dan
menahan kantuk. Sesungguhnya hidup itu penuh perjuangan, bukan?
Foto menyusul ya…
No comments:
Post a Comment